Aku gak mungkin biarkan dia mati
di depan aku sekarang dengan pisau cukur barbershop
ini Tuhan, begitulah tangisku dalam hati di malam kejadian tragis tanggal 6
Agustus 2014 silam. Setelah 3 kali dia menyayat lehernya, secepat mungkin aku
menggapai benda tajam yang menyayat lehernya itu dan membiarkan telapak
tanganku dihabisi oleh tajamnya pisau 2 mata tersebut karena ternyata sisi mata
pisau itulah yang aku raih. Setelah menyayat lehernya, ia pun berlalu begitu
saja tanpa memikirkan simbahan darah di tanganku.
Ia berlari menuju tukang
martabak. Di malam yang dingin tepat pukul 22.00, ia kembali mencoba untuk
mengakhiri hidupnya dengan memotong pergelangan tangannya dengan pisau martabak
yang besarnya sama seperti pisau tukang daging. Aku tidak tahu apa yang sedang
terjadi dengan dirinya saat itu, aku hanya dapat berulang kali menyebutkan nama Tuhan di
hadapannya sambil menangis memohon untuk dia menghentikan aksi gilanya. “Untuk
apa lagi hidup. Aku mau mati saja, sudah biarkan aku mati saja,” itulah
kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Semua sudah terlambat, pergelangan
tangan itu sudah putus disaksikan banyak pembeli martabak yang tampak ketakutan
melihat cipratan darah dari pergelangan tangannya. Tampaknya dia senang dan sangat
puas dengan usaha suicide tersebut.
Dia pun berlari menembus gelapnya malam, meninggalkan jejak darah segar yang bercucuran
bak kran air bocor.
11 jahitan di telapak tanganku
mungkin tidak sebanding dengan operasi besar yang akhirnya ia jalankan dalam
usaha menyambung kembali pergelangan tangannya. 1,5 bulan ia diisolasi di rumah sakit, tanpa
diijikan berkomunikasi denganku yang tentu menunggunya
dengan segala kecemasan dan kegelisahan. Dalam masa penantianku yang sangat
setia itu, akhirnya aku tahu bahwa dia mengindap penyakit kelainan jiwa. Aku
tidak kaget.
Dia telah menunjukan tanda-tanda
kelainan jiwanya sejak pertama kali kami bertemu. Ya, masih segar di pikiranku moment dimana kita bertemu pertama kali.
24 November 2012 lelaki berkulit putih, berambut jabrik, postur tubuh kurang
lebih 180 cm dan juga sixpack dengan
senyum menawan, membuat eye contact
denganku seusai ibadah di hari Minggu. Dia berdiri tepat 20 meter di depanku.
Kami tidak berkenalan atau pun berjabat tangan, namun hal itu tidak membuatku
jadi lupa akan parasnya.
Tepat 15 Februari 2013, sebuah perayaan
Valentine’s day di gerejaku
mengantarkan pertemuan kami untuk kedua kalinya. Kami duduk di sebuah bangku
panjang yang sama di dalam ruang gereja, namun lagi-lagi tidak berkenalan satu
dengan yang lain. Aku tidak telalu memikirkannya, aku rasa dia sama seperti
orang-orang asing lainnya yang aku temui hanya untuk melintas di hadapanku dan
berlalu begitu saja. Tidak ada yang terlalu istimewa.
Hari berganti bulan, cepat sekali
aku tiba di bulan Mei. Di hari Minggu pagi, tanggal 19. Aku terlambat masuk ke gereja. Karena bangku-bangku
di gereja sudah terisi penuh, seorang ibu membantuku mencari bangku kosong untuk
aku tempati. “Disini saja dek,” ucap ibu itu. Oh Tuhan, duduk disini? seruku
dalam hati. Jantungku tiba-tiba berdebar-debar kencang, nafasku tidak teratur. Ini
kan cowok yang itu. Yang dua kali ketemu di gereja juga, tapi gak sempet
kenalan, tambahku. “Permisi ya” ucapku dengan suara setengah berbisik kepada
lelaki itu saat ingin duduk tepat di samping kanannya. “Oh iya, silakan
silakan,” jawabnya singkat dengan senyuman indah yang tidak berubah sejak
pertama kali aku bertemu dengannya.
Aku tidak bisa berkonsentrasi
penuh sepanjang ibadah saat itu. Yang ada dipikiranku hanyalah ingin tahu siapa laki-laki ini, tinggal dimana dia,
apa dia bekerja atau kuliah, yang paling penting adalah apakah dia sudah punya
pacar atau belum. Tuhan, kok bisa sampe bertemu lagi ya? Apa kira-kira maksud
Tuhan? Kalau dia memang jodohku maka buatlah dia duluan yang memulai untuk
berkenalan denganku, bisik ku di dalam hati kepada Tuhan.
Disaat pikiranku melayang-layang mencari jawaban di awang-awang, tiba-tiba ia menyapaku. “Dek, kamu anak pemuda gereja ini juga kan? Sabtu ini ada rapat loh, kamu ikut ya.” Begitulah kurang lebih kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku grogi, mungkin dia mengucapkan beberapa kalimat yang lebih dari itu namun rasa nervous ku menutupi konsetrasi untuk fokus mendengar kata-katanya.
“Iya aku pemuda disini. Oh ada
rapat ya. Iya deh kalo gak ada acara aku datang ya,” jawabku dengan suara pelan
untuk menutupi suara grogi yang terkadang membuat suara jadi bergetar tidak
karuan. Dia hanya menggangguk-ngangguk dan tersenyum. Cuma gitu doang? Yah
sepertinya dia sudah punya pacar. Tapi kalau memang dia jodohku, dia pasti akan
tanya namaku bahkan meminta nomor handphone
ku ya Tuhan, ucapku lagi di dalam hati kepada Tuhan.
1 menit berlalu, 5 menit berlalu,
15 menit berlalu. Dia mungkin fokus beribadah sementara aku gundah gulana menunggu
dia kembali menyapaku. Sekitar 20 menit kemudian tiba-tiba ia suaranya dan berkata “Oiya dek, nama kamu
siapa?” Oh my God. Dia beneran nanya gue, seruku dalam hati mungkin dengan
wajah memerah dan ingin lompat-lompat tanda kegirangan. “Vani,” balasku dengan
sangat sederhana menutupi euphoria di
lubuk hatiku terdalam.
Aku pun membalas bertanya
namanya, namun aku sama sekali tidak bisa mendengar jelas suaranya yang sangat
lembut, ditambah lagi jantungku yang berdebar-debar belum berakhir sama sekali.
Dia mengambil kertas dan bulpen lalu menuliskan namanya di kertas tersebut. Setelah
6 bulan ia menjadi sosok misterius yang tidak pernah aku ketahui namanya, akhirnya
aku tahu ia bernama Dhy. Ia pun tidak lupa meminta nomor handphone ku. 3 kali pertemuan di gereja, apakah ini rencana Tuhan
atau hanya kebetulan saja? Ah, perfect
banget sih, wangi pula, aku suka dia, Tuhan.
Hari ini genap sudah 3 tahun sejak
kami berkenalan. Aku hanya bisa meratapi kesedihan akan kesendirianku hari ini.
Bila buku harianku dapat menangis, mungkin kertas-kertas itu akan mengeluarkan
air mata yang tidak akan ada hentinya. Aku lelah menangis, aku lelah bersusah
hati, aku pun lelah melihat sahabat-sahabatku kerepotan mendengarkan keluh
kesahku setiap hari.
Aku memejamkan mataku sebentar untuk
beristirahat. Terdengar alunan lagu Brian McKnight berjudul 6. 8, 12.
Dou you ever think about me?
Do you ever cry yourself to sleep?
In the middle of the night when you’re awake,
Are you calling out for me?
Do you ever reminisce?
I can’t belive I’m acting like this,
I know it’s crazy, how I still can fell your kiss.
It’s been six months, eight days, twelve hours since you went away.
I miss you so much and I don’t know what to say.
Aku sesak nafas. Lagu ini membawaku
akan tiap keping kenangan pahit dan manis bersamanya. Aku belum lupa semuanya.
Aku masih ingat sejak pertama kali kita bertemu dan berkenalan di gereja, sejak
pertama kali dia mencium keningku hingga turun ke pipiku di atas motor
vixionnya pukul 8 malam.
Aku pun masih ingat pertama kali
dia memintaku untuk menjadi pacarnya dengan membuat beberapa surat-surat kecil
yang ia taruh di depan rumahku dan di dalam surat-surat itu terdapat anak panah
yang membawaku ke tempat dia berdiri dengan lilin lilin kecil dibuat melingkar
di sekitarnya dan ia berpidato singkat akan pengkuan hatinya yang ingin menjadi
pacarku. “Aku cinta kamu, sayang,” ucapnya dengan penuh kasih sayang. “Aku juga
cinta kamu, semoga till death do us apart
ya,” balasku. “Iya, sampai maut memisahkan amin,” tambah Dhy. Romantis.
Aku masih ingat pertama kali dia
menunjukan penyakit kelainan jiwanya dengan menuduhku seorang mata-mata utusan seseorang
untuk memata-matainya, tuduhan akan orangtuaku yang juga adalah mata-mata,
bahkan diriku pun disangka bukan anak kandung dari mereka, tuduhan dirinya
sendiri adalah bukan anak kandung dari ibunya, dan sikap antipati dirinya
terhadap orang-orang dimanapun dia berada yang selalu ia cap sebagai mata-mata
yang memiliki niat jahat terhadap dirinya.
Yang paling berkesan untuk aku
ingat adalah saat-saat bahagia kita menyusun rencana untuk menikah. “Aku mau wedding ring yang warna emas aja ya, gak
usah ada ukiran-ukiran terlalu lebay biar gak norak. Apa lagi ada diamond nya. Yang sederhana aja nanti
kita ukir nama kita masing-masing di sisi dalam cincin,” ujar dia dengan semangat
di sebuah toko emas di Senayan City. Di toko emas itulah awal pencarian wedding ring kita. Tidak hanya wedding ring namun wedding dress, desain undangan, cendera mata untuk pesta pernikahan,
gedung pernikahan lengkap dengan paket catering serta desain interior sudah
kami diskusikan dan cari di segala tempat.
“Kita tunangan di awal Januari
2014 ya sayang,” ucapnya di bulan November 2013. Ia pun mengulangi ajakan
tunangan itu di tahun awal tahun 2015, sebab di awal Januari 2014 rencana
tersebut tidak dapat direalisasikan. “Kita menikah di akhir 2016 atau awal 2017
aja gimana sayang? Kamu udah masuk kepala tiga loh,” ucapku kepadanya di bulan
Januari awal tahun 2016. “Kamu kan mau kerja dulu, gapapa kok aku kan cowo,
wajar nikah usia kepala tiga. Lagipula kita bicarakan lagi sama mama kamu lah,
nanti ditolak lagi seperti yang lalu-lalu,” jawabnya dengan nada tidak
bersemangat.
Beberapa hari setelah percakapan
tentang menikah itu kami diskusikan, aku mendapat panggilan kerja di sebuah
bank BUMN. Entahlah, apakah aku membuat kesalahan besar atau memang keputusan tersebut sudah tepat, aku menolak pekerjaan
tersebut disebabkan ada sebuh kontrak perjanjian untuk tidak menikah selama
setahun. Aku teringat akan rencana pernikahan yang rencananya akan
dilangsungkan dalam jangka 1 tahun kedepan. Aku harus mendahulukan kepentingan
kita berdua daripada kepentinganku sendiri, pikirku dengan bodoh kala itu.
21 Januari 2016 , 2 minggu
setelah aku menolak pekerjaan di bank tersebut dan juga tepat satu bulan sebelum aku merayakan hari
ulangtahun, pukul 10 pagi Dhy mengirimkan chat
via LINE messanger.
“Kayaknya kia break aja dulu deh. Kita berteman aja ya.”
Aku gemetar. Aku marah. Aku
sedih. Aku mau teriak.
Secepat kilat aku telepon dia. “Maksud
kamu apa putusin aku?”, tanya ku penasaran sambil gemetar. “Enggak apa-apa.
Kayaknya kita gak bisa lanjut lagi. Kita jadi teman aja ya,” jawabnya. “Semua
itu ada alasan. Kita itu udah 30 bulan ya. Mimpi kita berdua tuh gak hanya 1
atau 2 biji. Mimpi kita berdua itu ada jutaan. Aku sayang kamu banget sayang.
Kamu kok kocak banget sih. Setelah 30 bulan yang begitu luar biasa kamu hargai
dengan begini doang? Hubungan kita tuh bukan hanya mengorbankan air mata tapi juga
darah,” ujarku berapi-api.
“Tuh liat, kamu emosian banget.
Aku ga bisa dengan karakter emosian kamu. Udah ah aku mau lanjut kerja,”
ucapnya tenang. Dia tenang sekali memutuskan aku, orang yang katanya ia sayangi
selama ini. Aku bergegas menelepon ia kembali, “pokoknya aku mau ketemu nanti.
Pulang kantor aku jemput kamu pake mobil, please.” Dia pun setuju untuk bertemu
denganku.
Kami bertemu dan berbicara
baik-baik. Aku tak dapat menahan air mataku yang sudah membendung diujung mata.
Aku menangis. Namun dia tidak sedikitpun menunjukan rasa sedih, dan menyesal
telah memutuskan aku atau setidaknya merayuku untuk berhenti menangis. Dia
diam.
Aku mengambil handphone nya dan membongkar isi ponsel
pintarnya. Aku tersentak dan langsung naik pitam saat melihat history calls di LINE messanger ternyata dia melakukan percakapan panjang bersama wanita lain. Aku pun menemukan sebuah
pesan singkat yang dialamatkan untuk seseorang yang dipanggil ‘mama’. Rupanya
wanita ini sedang bersama dengan Dhy di suatu malam, dan wanita ini meminta
ijin kepada mamanya untuk pergi pukul 9.57 malam bersama lelaki yang mana di moment itu dia masih resmi menjadi
kekasihku, calon pendamping hidupku kelak. Ah, sakit jiwa.
Hatiku hancur berkeping-keping
tiada tersisa. Aku mencintai dia sepenuh hatiku. Aku mau menerima dia yang
memiliki penyakit kelainan dalam kejiwaannya, bahkan kodisi tangan yang sudah
tidak lagi normal sebagimana mestinya. 30 bulan aku menjaga hati ini untuk dia
yang kini ku tahu semua itu adalah pekerjaan yang sia-sia. Semua kebenaran-kebenaran
di waktu lampau tampak hanya sebagai kebohongan yang saling menutupi kebohongan
lainnya. Dirinya yang hampir mati, membuatku bersujud syukur karena akhirnya
maut tidak jadi memisahkan kita, tetapi wanita yg bersamanya di malam hari
tanggal 8 Januari 2016 yang sungguh-sungguh memisahkan kita. Kalian berdua
sungguh tega banget sih.
Aku marah, Tuhan. Aku benci dia.
Aku tidak akan bisa memaafkan dia. Luka di hati ini jauh lebih sakit daripada
luka jahitan di telapak tanganku tahun 2014 silam. Kenapa Tuhan mengijinkan
hatiku sampai patah tak beraturan seperti ini? Pasti ada maksud baik Tuhan di
balik semua ini, namun aku tidak tahu pasti, pikiranku kacau, emosiku
meledak-ledak sangat tidak stabil, aku tidak mampu berfikir sehat.
Keputusannya tidak dapat dicabut.
Sejak saat itu kami berpisah. 30 bulan yang sangat indah dan juga menyedihkan
akhirnya selesai karena orang ketiga. Impian menikah hanya tinggal kenangan
manis yang masih tercatat di buku diaryku.
Perpisahan menyakitkan itu ditutup oleh kecupan di keningku saat ia akan
meninggalkan mobilku pukul 4 sore. Itulah hari terakhir aku melihatnya.
Tiga bulan berlalu, aku sadar
akan wangi tubuhnya, sentuhan hangatnya, kecupan mesra, gambaran tubuhnya, dan
suara manjanya perlahan-lahan menghilang dari hari-hariku. Semua kenangan indah
dan juga menyedihkan lenyap bagaikan tenggelam di dasar lautan yang terdalam. Terkadang
di malam-malam senduku, aku berteriak menyerukan namanya di dalam hatiku sambil menggoreskan
tinta di buku kecilku. Basah, buku diaryku
selalu basah terkena air mata perkabunganku jika aku mengingatnya.
Terlalu pekat kenangan itu sehingga mengikatku di dalam nostalgia akan hari-hari kami tempo lalu. Andai aku memiliki mesin waktu, aku ingin mencuri sedikit kebahagiaanku bersamanya, inginku ku awetkan lalu ku masukan ke dalam botol kaca sehingga aku dapat merasakan kebahagiaan lagi kapanpun aku mau, layaknya aku bersama dengan dia dulu.
No comments:
Post a Comment