Wednesday, November 2, 2016

Horrible

After such a long time I don't hear a word from you,
Then it finally came again...
You came up with words I always remember..
The way you type every single word, I always remember it all.

It's been almost 10 months, I can't tell a lie, I miss you so much...



I had no ideas how to reply his, I just answered every single word which came up from my deepest heart.
I guess, he knew if I was really happy and glad and excited.


before, if we were fighting, and I finally I said any words to him, he must reply "nah, I know you love me and you can't stop love me, right?"

and it is all not the same.

It seems like, we texted as two strangers who just met then it stops. I guess, I won't ever meet you anymore.

God! I don't expect any chance from You to get any closer to him even to get back. BUT, I just want to tell him that I miss him so much. I always do. :(

Tuesday, June 21, 2016

Bukan maut yang memisahkan kita

Aku gak mungkin biarkan dia mati di depan aku sekarang dengan pisau cukur barbershop ini Tuhan, begitulah tangisku dalam hati di malam kejadian tragis tanggal 6 Agustus 2014 silam. Setelah 3 kali dia menyayat lehernya, secepat mungkin aku menggapai benda tajam yang menyayat lehernya itu dan membiarkan telapak tanganku dihabisi oleh tajamnya pisau 2 mata tersebut karena ternyata sisi mata pisau itulah yang aku raih. Setelah menyayat lehernya, ia pun berlalu begitu saja tanpa memikirkan simbahan darah di tanganku.

Ia berlari menuju tukang martabak. Di malam yang dingin tepat pukul 22.00, ia kembali mencoba untuk mengakhiri hidupnya dengan memotong pergelangan tangannya dengan pisau martabak yang besarnya sama seperti pisau tukang daging. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya saat itu, aku hanya dapat  berulang kali menyebutkan nama Tuhan di hadapannya sambil menangis memohon untuk dia menghentikan aksi gilanya. “Untuk apa lagi hidup. Aku mau mati saja, sudah biarkan aku mati saja,” itulah kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Semua sudah terlambat, pergelangan tangan itu sudah putus disaksikan banyak pembeli martabak yang tampak ketakutan melihat cipratan darah dari pergelangan tangannya. Tampaknya dia senang dan sangat puas dengan usaha suicide tersebut. Dia pun berlari menembus gelapnya malam, meninggalkan jejak darah segar yang bercucuran bak kran air bocor.

11 jahitan di telapak tanganku mungkin tidak sebanding dengan operasi besar yang akhirnya ia jalankan dalam usaha menyambung kembali pergelangan tangannya.  1,5 bulan ia diisolasi di rumah sakit, tanpa diijikan berkomunikasi denganku yang tentu menunggunya dengan segala kecemasan dan kegelisahan. Dalam masa penantianku yang sangat setia itu, akhirnya aku tahu bahwa dia mengindap penyakit kelainan jiwa. Aku tidak kaget.

Dia telah menunjukan tanda-tanda kelainan jiwanya sejak pertama kali kami bertemu. Ya, masih segar di pikiranku moment dimana kita bertemu pertama kali. 24 November 2012 lelaki berkulit putih, berambut jabrik, postur tubuh kurang lebih 180 cm dan juga sixpack dengan senyum menawan, membuat eye contact denganku seusai ibadah di hari Minggu. Dia berdiri tepat 20 meter di depanku. Kami tidak berkenalan atau pun berjabat tangan, namun hal itu tidak membuatku jadi lupa akan parasnya.

Tepat 15 Februari 2013, sebuah perayaan Valentine’s day di gerejaku mengantarkan pertemuan kami untuk kedua kalinya. Kami duduk di sebuah bangku panjang yang sama di dalam ruang gereja, namun lagi-lagi tidak berkenalan satu dengan yang lain. Aku tidak telalu memikirkannya, aku rasa dia sama seperti orang-orang asing lainnya yang aku temui hanya untuk melintas di hadapanku dan berlalu begitu saja. Tidak ada yang terlalu istimewa.

Hari berganti bulan, cepat sekali aku tiba di bulan Mei. Di hari Minggu pagi, tanggal 19. Aku  terlambat masuk ke gereja. Karena bangku-bangku di gereja sudah terisi penuh, seorang ibu membantuku mencari bangku kosong untuk aku tempati. “Disini saja dek,” ucap ibu itu. Oh Tuhan, duduk disini? seruku dalam hati. Jantungku tiba-tiba berdebar-debar kencang, nafasku tidak teratur. Ini kan cowok yang itu. Yang dua kali ketemu di gereja juga, tapi gak sempet kenalan, tambahku. “Permisi ya” ucapku dengan suara setengah berbisik kepada lelaki itu saat ingin duduk tepat di samping kanannya. “Oh iya, silakan silakan,” jawabnya singkat dengan senyuman indah yang tidak berubah sejak pertama kali aku bertemu dengannya.

Aku tidak bisa berkonsentrasi penuh sepanjang ibadah saat itu. Yang ada dipikiranku hanyalah ingin  tahu siapa laki-laki ini, tinggal dimana dia, apa dia bekerja atau kuliah, yang paling penting adalah apakah dia sudah punya pacar atau belum. Tuhan, kok bisa sampe bertemu lagi ya? Apa kira-kira maksud Tuhan? Kalau dia memang jodohku maka buatlah dia duluan yang memulai untuk berkenalan denganku, bisik ku di dalam hati kepada Tuhan.

Disaat pikiranku melayang-layang mencari jawaban di awang-awang, tiba-tiba ia menyapaku. “Dek, kamu anak pemuda gereja ini juga kan? Sabtu ini ada rapat loh, kamu ikut ya.” Begitulah kurang lebih kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku grogi, mungkin dia mengucapkan beberapa kalimat yang lebih dari itu namun rasa nervous ku menutupi konsetrasi untuk fokus mendengar kata-katanya.

“Iya aku pemuda disini. Oh ada rapat ya. Iya deh kalo gak ada acara aku datang ya,” jawabku dengan suara pelan untuk menutupi suara grogi yang terkadang membuat suara jadi bergetar tidak karuan. Dia hanya menggangguk-ngangguk dan tersenyum. Cuma gitu doang? Yah sepertinya dia sudah punya pacar. Tapi kalau memang dia jodohku, dia pasti akan tanya namaku bahkan meminta nomor handphone ku ya Tuhan, ucapku lagi di dalam hati kepada Tuhan.

1 menit berlalu, 5 menit berlalu, 15 menit berlalu. Dia mungkin fokus beribadah sementara aku gundah gulana menunggu dia kembali menyapaku. Sekitar 20 menit kemudian tiba-tiba ia  suaranya dan berkata “Oiya dek, nama kamu siapa?” Oh my God. Dia beneran nanya gue, seruku dalam hati mungkin dengan wajah memerah dan ingin lompat-lompat tanda kegirangan. “Vani,” balasku dengan sangat sederhana menutupi euphoria di lubuk hatiku terdalam.

Aku pun membalas bertanya namanya, namun aku sama sekali tidak bisa mendengar jelas suaranya yang sangat lembut, ditambah lagi jantungku yang berdebar-debar belum berakhir sama sekali. Dia mengambil kertas dan bulpen lalu menuliskan namanya di kertas tersebut. Setelah 6 bulan ia menjadi sosok misterius yang tidak pernah aku ketahui namanya, akhirnya aku tahu ia bernama Dhy. Ia pun tidak lupa meminta nomor handphone ku. 3 kali pertemuan di gereja, apakah ini rencana Tuhan atau hanya kebetulan saja? Ah, perfect banget sih, wangi pula, aku suka dia, Tuhan.

Hari ini genap sudah 3 tahun sejak kami berkenalan. Aku hanya bisa meratapi kesedihan akan kesendirianku hari ini. Bila buku harianku dapat menangis, mungkin kertas-kertas itu akan mengeluarkan air mata yang tidak akan ada hentinya. Aku lelah menangis, aku lelah bersusah hati, aku pun lelah melihat sahabat-sahabatku kerepotan mendengarkan keluh kesahku setiap hari.

Aku memejamkan mataku sebentar untuk beristirahat. Terdengar alunan lagu Brian McKnight berjudul 6. 8, 12.

Dou you ever think about me?
Do you ever cry yourself to sleep?
In the middle of the night when you’re awake,
Are you calling out for me?
Do you ever reminisce?
I can’t belive I’m acting like this,
I know it’s crazy, how I still can fell your kiss.
It’s been six months, eight days, twelve hours since you went away.
I miss you so much and I don’t know what to say.

Aku sesak nafas. Lagu ini membawaku akan tiap keping kenangan pahit dan manis bersamanya. Aku belum lupa semuanya. Aku masih ingat sejak pertama kali kita bertemu dan berkenalan di gereja, sejak pertama kali dia mencium keningku hingga turun ke pipiku di atas motor vixionnya pukul 8 malam.

Aku pun masih ingat pertama kali dia memintaku untuk menjadi pacarnya dengan membuat beberapa surat-surat kecil yang ia taruh di depan rumahku dan di dalam surat-surat itu terdapat anak panah yang membawaku ke tempat dia berdiri dengan lilin lilin kecil dibuat melingkar di sekitarnya dan ia berpidato singkat akan pengkuan hatinya yang ingin menjadi pacarku. “Aku cinta kamu, sayang,” ucapnya dengan penuh kasih sayang. “Aku juga cinta kamu, semoga till death do us apart ya,” balasku. “Iya, sampai maut memisahkan amin,” tambah Dhy. Romantis.

Aku masih ingat pertama kali dia menunjukan penyakit kelainan jiwanya dengan menuduhku seorang mata-mata utusan seseorang untuk memata-matainya, tuduhan akan orangtuaku yang juga adalah mata-mata, bahkan diriku pun disangka bukan anak kandung dari mereka, tuduhan dirinya sendiri adalah bukan anak kandung dari ibunya, dan sikap antipati dirinya terhadap orang-orang dimanapun dia berada yang selalu ia cap sebagai mata-mata yang memiliki niat jahat terhadap dirinya.

Yang paling berkesan untuk aku ingat adalah saat-saat bahagia kita menyusun rencana untuk menikah. “Aku mau wedding ring yang warna emas aja ya, gak usah ada ukiran-ukiran terlalu lebay biar gak norak. Apa lagi ada diamond nya. Yang sederhana aja nanti kita ukir nama kita masing-masing di sisi dalam cincin,” ujar dia dengan semangat di sebuah toko emas di Senayan City. Di toko emas itulah awal pencarian wedding ring kita. Tidak hanya wedding ring namun wedding dress, desain undangan, cendera mata untuk pesta pernikahan, gedung pernikahan lengkap dengan paket catering serta desain interior sudah kami diskusikan dan cari di segala tempat.

“Kita tunangan di awal Januari 2014 ya sayang,” ucapnya di bulan November 2013. Ia pun mengulangi ajakan tunangan itu di tahun awal tahun 2015, sebab di awal Januari 2014 rencana tersebut tidak dapat direalisasikan. “Kita menikah di akhir 2016 atau awal 2017 aja gimana sayang? Kamu udah masuk kepala tiga loh,” ucapku kepadanya di bulan Januari awal tahun 2016. “Kamu kan mau kerja dulu, gapapa kok aku kan cowo, wajar nikah usia kepala tiga. Lagipula kita bicarakan lagi sama mama kamu lah, nanti ditolak lagi seperti yang lalu-lalu,” jawabnya dengan nada tidak bersemangat.

Beberapa hari setelah percakapan tentang menikah itu kami diskusikan, aku mendapat panggilan kerja di sebuah bank BUMN. Entahlah, apakah aku membuat kesalahan besar atau memang keputusan  tersebut sudah tepat, aku menolak pekerjaan tersebut disebabkan ada sebuh kontrak perjanjian untuk tidak menikah selama setahun. Aku teringat akan rencana pernikahan yang rencananya akan dilangsungkan dalam jangka 1 tahun kedepan. Aku harus mendahulukan kepentingan kita berdua daripada kepentinganku sendiri, pikirku dengan bodoh kala itu.

21 Januari 2016 , 2 minggu setelah aku menolak pekerjaan di bank tersebut dan juga tepat  satu bulan sebelum aku merayakan hari ulangtahun, pukul 10 pagi Dhy mengirimkan chat via LINE messanger.
“Kayaknya kia break aja dulu deh. Kita berteman aja ya.”

Aku gemetar. Aku marah. Aku sedih. Aku mau teriak.
Secepat kilat aku telepon dia. “Maksud kamu apa putusin aku?”, tanya ku penasaran sambil gemetar. “Enggak apa-apa. Kayaknya kita gak bisa lanjut lagi. Kita jadi teman aja ya,” jawabnya. “Semua itu ada alasan. Kita itu udah 30 bulan ya. Mimpi kita berdua tuh gak hanya 1 atau 2 biji. Mimpi kita berdua itu ada jutaan. Aku sayang kamu banget sayang. Kamu kok kocak banget sih. Setelah 30 bulan yang begitu luar biasa kamu hargai dengan begini doang? Hubungan kita tuh bukan hanya mengorbankan air mata tapi juga darah,” ujarku berapi-api.

“Tuh liat, kamu emosian banget. Aku ga bisa dengan karakter emosian kamu. Udah ah aku mau lanjut kerja,” ucapnya tenang. Dia tenang sekali memutuskan aku, orang yang katanya ia sayangi selama ini. Aku bergegas menelepon ia kembali, “pokoknya aku mau ketemu nanti. Pulang kantor aku jemput kamu pake mobil, please.” Dia pun setuju untuk bertemu denganku.

Kami bertemu dan berbicara baik-baik. Aku tak dapat menahan air mataku yang sudah membendung diujung mata. Aku menangis. Namun dia tidak sedikitpun menunjukan rasa sedih, dan menyesal telah memutuskan aku atau setidaknya merayuku untuk berhenti menangis. Dia diam.

Aku mengambil handphone nya dan membongkar isi ponsel pintarnya. Aku tersentak dan langsung naik pitam saat melihat history calls di LINE messanger  ternyata dia melakukan percakapan panjang  bersama wanita lain. Aku pun menemukan sebuah pesan singkat yang dialamatkan untuk seseorang yang dipanggil ‘mama’. Rupanya wanita ini sedang bersama dengan Dhy di suatu malam, dan wanita ini meminta ijin kepada mamanya untuk pergi pukul 9.57 malam bersama lelaki yang mana di moment itu dia masih resmi menjadi kekasihku, calon pendamping hidupku kelak. Ah, sakit jiwa.

Hatiku hancur berkeping-keping tiada tersisa. Aku mencintai dia sepenuh hatiku. Aku mau menerima dia yang memiliki penyakit kelainan dalam kejiwaannya, bahkan kodisi tangan yang sudah tidak lagi normal sebagimana mestinya. 30 bulan aku menjaga hati ini untuk dia yang kini ku tahu semua itu adalah pekerjaan yang sia-sia. Semua kebenaran-kebenaran di waktu lampau tampak hanya sebagai kebohongan yang saling menutupi kebohongan lainnya. Dirinya yang hampir mati, membuatku bersujud syukur karena akhirnya maut tidak jadi memisahkan kita, tetapi wanita yg bersamanya di malam hari tanggal 8 Januari 2016 yang sungguh-sungguh memisahkan kita. Kalian berdua sungguh tega banget sih.

Aku marah, Tuhan. Aku benci dia. Aku tidak akan bisa memaafkan dia. Luka di hati ini jauh lebih sakit daripada luka jahitan di telapak tanganku tahun 2014 silam. Kenapa Tuhan mengijinkan hatiku sampai patah tak beraturan seperti ini? Pasti ada maksud baik Tuhan di balik semua ini, namun aku tidak tahu pasti, pikiranku kacau, emosiku meledak-ledak sangat tidak stabil, aku tidak mampu berfikir sehat.

Keputusannya tidak dapat dicabut. Sejak saat itu kami berpisah. 30 bulan yang sangat indah dan juga menyedihkan akhirnya selesai karena orang ketiga. Impian menikah hanya tinggal kenangan manis yang masih tercatat di buku diaryku. Perpisahan menyakitkan itu ditutup oleh kecupan di keningku saat ia akan meninggalkan mobilku pukul 4 sore. Itulah hari terakhir aku melihatnya.

Tiga bulan berlalu, aku sadar akan wangi tubuhnya, sentuhan hangatnya, kecupan mesra, gambaran tubuhnya, dan suara manjanya perlahan-lahan menghilang dari hari-hariku. Semua kenangan indah dan juga menyedihkan lenyap bagaikan tenggelam di dasar lautan yang terdalam. Terkadang di malam-malam senduku, aku berteriak menyerukan namanya di dalam hatiku sambil menggoreskan tinta di buku kecilku. Basah, buku diaryku selalu basah terkena air mata perkabunganku jika aku mengingatnya.

Terlalu pekat kenangan itu sehingga mengikatku di dalam nostalgia akan hari-hari kami tempo lalu. Andai aku memiliki mesin waktu, aku ingin mencuri sedikit kebahagiaanku bersamanya, inginku ku awetkan lalu ku masukan ke dalam botol kaca sehingga aku dapat merasakan kebahagiaan lagi kapanpun aku mau, layaknya aku bersama dengan dia dulu.

Thursday, January 7, 2016

Welcome back

Hi blogger.com, long time no see you.
I was busy for couple of years, but all the busy things were worthy. Idk how to say but I thank to God for His endless blessing I got.